Janggut adalah rambut yang tumbuh pada daerah dagu, pipi, dan leher pria. Rambut di daerah di atas bibir kadang juga dikelompokkan sebagai "janggut" walaupun secara spesifik lebih sering disebut kumis. Ilmu yang mempelajari janggut disebut pogonologi. Sepanjang sejarah, pria berjanggut telah diasosiasikan dengan berbagai atribut seperti bijaksana, maskulin, atau berstatus tinggi, tapi kadang juga diasosiasikan sebagai kurang rapi atau eksentrik.
Dalam syariat Islam, umat Muslim disunnahkan untuk memotong habis kumis dan memelihara janggut, sekiranya orang tersebut berbakat memiliki janggut.[1]
Sebagian pembenci Islam
menganggap dan mengopinikan jenggot sebagai ciri khas teroris. Jika ada
seorang laki-laki memelihara jenggot, maka ia adalah teroris, atau
minimal berpikiran radikal dan intoleran. Ini adalah bagian upaya mereka
untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran dan ciri khas mereka. Jenggot,
celana cingkrang, jilbab, cadar,
dan ciri-ciri khas muslim lainnya dianggap dan diopinikan sebagai ciri
khas teroris. Sayangnya, opini pembenci Islam ini ‘dimakan
mentah-mentah’ oleh sebagian kaum muslimin.
Di sisi yang lain, sebagian umat Islam yang begitu tinggi ghirah Islamnya, dan begitu kuat keinginan mengikuti sunnah-nya, namun kurang memahami persoalan khilafiyah, akhirnya menjadikan jenggot sebagai standar ahlus sunnah
atau ahlul bid’ah-nya seseorang. Yang memelihara jenggot, berarti ia
ahlus sunnah, sedangkan yang mencukur jenggot, berarti ia ahlul bid’ah.
Mereka juga tutup mata dan tutup telinga terhadap fakta bahwa ulama
berbeda pendapat tentang kewajiban memelihara jenggot ini. Orang-orang
seperti ini mudah mengklaim mutlak kebenaran ada pada dirinya atau
komunitasnya, dan yang menyelisihi berarti salah mutlak.
Lalu bagaimana hukum memelihara jenggot dalam fiqih?
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
[35/224] dikatakan bahwa seluruh ulama sepakat memelihara jenggot
merupakan perkara yang diperintahkan oleh Syari’ah. Hal ini berdasarkan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
1. Hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Artinya:
“Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah (jangan cukur) jenggot
dan cukurlah kumis kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5892)
2. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Artinya: “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim no. 260)
3. Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ …
Artinya: “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur kumis, memelihara jenggot, …” (HR. Muslim no. 261)
Ibnu Hajar menyatakan bahwa orang-orang Majusi ada yang memotong pendek jenggot mereka dan ada juga yang mencukurnya habis (Fathul Bari [10/349]).
Walaupun
memelihara jenggot merupakan perkara yang disyariatkan dalam Islam,
namun tidak otomatis hukumnya wajib atau ulama sepakat atas
kewajibannya. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah ada
beberapa pembahasan terkait memelihara jenggot ini, dan yang terpenting
di antaranya adalah tentang (1) memanjangkan dan melebatkan jenggot
dengan treatment tertentu, (2) memotong jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan, dan (3) mencukur habis jenggot.
Memanjangkan dan Melebatkan Jenggot dengan Perawatan Tertentu
Ibn Daqiq al-‘Ied berkata:
لَا
أَعْلَمُ أَحَدًا فَهِمَ مِنَ الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ أَعْفُوا اللِّحَى
تَجْوِيزَ مُعَالَجَتِهَا بِمَا يُغْزِرُهَا كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ
النَّاسِ
Artinya:
“Saya tidak mengetahui ada orang yang memahami perintah Nabi dalam sabda
beliau, ‘peliharalah jenggot’ dengan kebolehan memberikanperawatan tertentu agar jenggot tersebut tumbuh lebat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.” (Fathul Bari [10/351]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
Jadi, bagi yang memang dari sononya
tidak punya jenggot, tidak usah sedih, dan tidak usah juga membeli
penumbuh jenggot berharga mahal untuk merealisasikan perintah Nabi ini.
Perintah memelihara jenggot ini hanya untuk yang dikaruniai jenggot oleh
Allah ta’ala.
Memotong Jenggot yang Melebihi Genggaman Tangan
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Berikut sedikit gambarannya:
1.
Tidak boleh memotong jenggot, walaupun panjangnya melebihi genggaman
tangan. Yang berpendapat seperti ini misalnya adalah Imam an-Nawawi.
Beliau menyatakan bahwa kebolehan memotong jenggot yang melebihi
genggaman tersebut bertentangan dengan zhahir hadits yang memerintahkan
membiarkannya (tidak mencukurnya). (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
2.
Boleh memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan. Ini adalah
pendapat Hanabilah dan Hanafiyyah. Mereka melandasi pendapatnya ini
dengan atsar dari Ibn ‘Umar:
إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
Artinya:
“(Ibnu ‘Umar) ketika berhaji atau ber-‘umrah beliau menggenggam
jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut beliau potong.” (HR.
Al-Bukhari no. 5892)
Terkait riwayat dari al-Bukhari di atas, Mushthafa al-Bugha memberikan ta’liq-nya, bahwa yang dimaksud dengan fadhala adalah ‘melebihi dari genggaman’ dan akhadzahu artinya qashshahu (memotongnya).
Secara
terperinci, kalangan Hanabilah menyatakan bahwa tidak makruh hukumnya
memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan ini yang dinyatakan
oleh Imam Ahmad (Syarh Muntaha al-Iradat [1/44]; Nailul Ma-arib [1/57]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Sedangkan
Hanafiyyah menyatakan bahwa memotong jenggot yang melebihi genggaman
tangan hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad dari Abu
Hanifah (al-Fatawa al-Hindiyyah [5/358]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Ada
juga pendapat dari kalangan Hanafiyyah yang menyatakan wajib memotong
jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan berdosa membiarkannya (tidak
memotongnya) (Hasyiyah Ibn ‘Abidin [2/417]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Adapun memotongnya lebih pendek dari genggaman tangan, maka Ibn ‘Abidin berkata, ‘tidak ada seorangpun yang membolehkannya’ (Hasyiyah Ibn ‘Abidin [2/418]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225])
3.
Jenggot tidak dipotong kecuali jika jenggot tersebut semrawut (tidak
rapi) karena begitu panjang dan lebatnya. Pendapat ini dinukil oleh
ath-Thabari dari al-Hasan dan ‘Atha. Dan pendapat inilah yang dipilih
oleh Ibn Hajar, dan menurut beliau karena alasan inilah Ibn ‘Umar
memotong jenggotnya. ‘Iyadh berkata bahwa memotong jenggot yang terlalu
panjang dan lebat itu baik, bahkan dimakruhkan membiarkan jenggot yang
terlalu panjang dan lebat sebagaimana dimakruhkan memendekkannya (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Salah satu dalil yang digunakan oleh yang berpendapat seperti ini adalah hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu memotong
jenggotnya karena sangat lebat dan panjangnya.” (HR. At-Tirmidzi no.
2762, dan beliau berkata, ‘ini hadits gharib’)
Tentang hadits ini, Ibn Hajar dalam Fathul Bari [10/350]
memuat pernyataan al-Bukhari tentang ‘Umar ibn Harun (periwayat hadits
ini), ‘saya tidak mengetahui hadits munkar darinya, kecuali hadits ini’.
Ibn Hajar juga menyatakan bahwa sekelompok ulama mendhaifkan ‘Umar ibn
Harun secara mutlak.
Mencukur Habis Jenggot
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
[35/225-226] dinyatakan bahwa mayoritas fuqaha, yaitu kalangan
Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan satu pendapat dari kalangan
Syafi’iyyah mengharamkan mencukur habis jenggot. Di al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
[1/462], Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa kalangan Malikiyyah
dan Hanabilah mengharamkan mencukur habis jenggot, sedangkan kalangan
Hanafiyyah menyatakan hukumnya makruh tahrim.
Kelompok
yang mengharamkan ini beralasan bahwa mencukur habis jenggot
bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memeliharanya. Dan Ibn ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya
(sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya) menyatakan bahwa tidak ada
seorangpun yang membolehkan memotong jenggot lebih pendek dari genggaman
tangan (al-akhdzu minal lihyah duunal qabdhah), sedangkan mencukur habis jenggot (halqul lihyah) lebih dari itu (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
[35/226]). Maksudnya, memotong jenggot lebih pendek dari genggaman
tangan saja tidak boleh, apalagi mencukur habis jenggot tersebut.
Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi
[1/90] dinyatakan, ‘Haram bagi seorang laki-laki mencukur habis jenggot
dan kumisnya, dan orang yang melakukan itu diberi sanksi ta’dib’.
Berbeda dengan jumhur fuqaha, pendapat yang ashah dari kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa mencukur habis jenggot hukumnya makruh (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]). Syaikh Wahbah az-Zuhaili, ulama besar kontemporer bermadzhab Syafi’i, di kitab beliau al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462], juga menyatakan hal yang sama, bahwa mencukur habis jenggot menurut madzhab Syafi’i hukumnya makruh tanzih.
Az-Zuhaili
juga menukil pernyataan an-Nawawi tentang sepuluh kebiasaan yang
dimakruhkan terkait dengan jenggot, dan salah satunya adalah mencukur
habisnya. Dikecualikan dari hal ini, jika jenggot tersebut tumbuh pada
seorang perempuan, maka mustahab mencukurnya habis (Syarh Shahih Muslim [3/149-150]; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462]).
***
Inilah
fakta perbedaan pendapat ulama tentang hukum memelihara jenggot. Sekali
lagi ini fakta, dan tidak bisa didustakan, kecuali ada yang bisa
menunjukkan bahwa penisbahan pendapat-pendapat di atas kepada empunya
pendapat keliru. Dan ini bukan persoalan tarjih, pendapat mana
yang lebih kuat. Mengakui ada pendapat yang berbeda itu satu hal, dan
memilih pendapat yang dianggap paling kuat itu hal lain lagi.
Namun,
walaupun terdapat perbedaan pendapat, bagaimanapun ia tetap sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan bagi kita umat Islam,
seluruh ulama sepakat tentang hal ini. Jadi, haram bagi seorang muslim
menghina dan mengejek orang yang mengamalkan sunnah ini. Ini adalah
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan umat Islam seharusnya
semangat menjalankan sunnah ini, apalagi di masa sekarang, di saat umat
Islam banyak yang kehilangan ghirah keislaman dan kebanggaannya terhadap
Islam.
Wallahu a’lam bish shawwab.
0 komentar
Post a Comment